Sartika Dian Nuraini *
Bali Post, 2 Des 2012
Kita cukup kaget dan salut saat mengetahui banyak orang di Indonesia menekuni hobi bersepeda. Bersepeda pada akhirnya adalah implementasi keinginan yang memadukan banyak hal, antara lain olahraga, wisata, petualangan, identitas. Bersepeda di antara masyarakat yang kecanduan sepeda motor dan mobil mungkin saja kisah yang membutuhkan alasasan-alasan masuk akal.
Indonesia sampai saat ini belum begitu identik dengan sepeda jika dibandingkan dengan Belanda, Jepang, Cina, atau Jerman yang warganya di berbagai kota lebih memilih sepeda onthel sebagai sarana transportasi. Pemerintah dan warga bersinergi mempromosikan penggunaan sepeda yang memiliki banyak timbal balik dalam hal mengurangi kemacetan, polusi, dan kesehatan. Bersepeda sepertinya tidak menjatuhkan gengsi. Bersepeda adalah gaya hidup. Akhirnya, kita dapat mengingat bahwa mengayuh sepeda onthel sebenarnya mengingat sejarah kota dan gaya hidup.
Sejarah sepeda onthel adalah sejarah kota. Sepeda onthel menandai pertumbuhan kota yang bergerak cepat lewat implementasi modernitas. Sebagai alat transportasi, sepeda onthel pernah mengantarkan kita ke gerbang modernitas, sebab sepeda onthel memang diciptakan untuk mengatur kehidupan manusia yang ingin efisiensi waktu, energi, dan jarak. Pada zaman dulu, sepeda onthel dibuat untuk kepentingan kapitalistik. Manusia yang enggan berjalan kaki, memilih sepeda guna mengantarkannya pergi ke mana-mana. Efisiensi itulah yang dikehendaki manusia modern dalam mobilitas diri.
Sejak pertama kali ditemukan, sepeda onthel menuai antusiasme dari orang-orang Inggris, Perancis, dan Amerika. Pembangunan jalan raya dilakukan secara besar-besaran demi memudahkan kolonialisasi dan industrialisasi yang edan-edanan. Jalan kian ramai, mesin-mesin dan teknologi bersliweran di jalan. Egon Larsen dalam A History of Invention (1978) mengisahkan penemuan sepeda onthel. Peristiwa bermula saat tahun 1813, di sebuah kota yang damai di Jerman. Seorang pemuda bernama Baron Karl Friedrich Christian Ludwig Drais von Sauerbronn meluncur di jalan raya naik kendaraan yang aneh sekali.
Kendaraan itu terbuat dari dua buah roda yang dikaitkan dengan kayu dan pelana di tengah-tengahnya. Kendaraan itu berjalan dengan dorongan kaki kiri dan kanan secara bergantian. Ia berhasil mendapatkan paten untuk “mesin berlari” atau Draisine ciptaannya karena bisa menempuh jarak kota Karlshure ke Strasbourg dalam waktu cuma empat jam. Padahal, jika berjalan kaki jarak itu ditempuh dengan waktu enam belas jam. Orang Inggris dan Prancis menyambutnya dengan riuh. Sejak saat itu, Draisine mulai memadati boulevard-boulevard Paris dan London yang sangat digemari oleh pria-pria di waktu senggang.
Di Indonesia, iklan promosi yang menandai pertama kali masuknya sepeda di Jawa tercatat pada tahun 1898. Sepeda itu bermerek Clveland Cycles yang tertera dalam surat kabar De Nieuwe Vorstenlandan. Iklan sepeda dibuat dari dan untuk kalangan kolonial, serta para bangsawan di pulau Jawa. Kaum pribumi melihatnya sebagai benda mewah, khas Eropa. Kalau mereka memiliki sepeda, tandanya naik martabat seperti orang Eropa. Mereka berpawai mengelilingi kota dan desa menggunakan sepeda-sepeda yang menentukan martabat kolonialistik. Sepeda menjadi pembeda antara ras kaum penjajah dan yang dijajah. Jalan-jalan itu menjelmakan kekuasaan dan kontestasi politik kolonial yang memakai sepeda untuk menyapa dan pamer pada pribumi.
Intelektual
Pada awal abad ke-20, sepeda onthel menjadi representasi sekaligus indikasi intelektualitas anak-anak bangsawan yang bersekolah di institusi kolonial. Arnold Mononutu, seorang lulusan Sekolah Dokter Jawa pertama, contohnya. Di masa kecil, ayahnya yang seorang ambtenar membelikannya sepeda untuk menyetarakan diri dengan teman-temannya dari kalangan Eropa di ELS (Europeesche Lager School) Gorontalo. Sepeda menjadi indikasi keterasingan tradisi dan identitas. Monomutu mengakui dirinya saat itu memiliki mentalitas kolonial. Demi menunjukkan kekayaan dan kekuasaan, kalangan intelektual dan ambtenar saat itu malu bila harus berjalan apalagi bertelanjang kaki seperti pribumi. Pendefinisian ini serasa sangat membebani, bahkan mengafirmasi ketegangan rasisme-kultural masyarakat di Hindia Belanda.
Waktu berlalu, tetapi makna sepeda onthel bisa ditengok dalam pelbagai wacana pergerakan dan perjuangan kemerdekaan kita. Sepeda onthel menjadi alat transportasi utama bagi para pejuang kemerdekaan, selain mobil maupun truk. Sepeda-sepeda itu simbolisasi spirit dan nyawa. Sepeda-sepeda mengantarkan kita pada kemerdekaan. Dengan sepeda onthel, kita sebenarnya mengayuh nasonalisme.
Pada paruh abad ke-20, sepeda onthel mulai mencitrakan romantisisme kaum muda di Indonesia. Visualisasi kisah cinta itu tampak dalam iklan sepeda Alpino di Madjalah Star (1958), yang dipasarkan di wilayah Jakarta, Sukabumi, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Sepeda Alpino mengisahkan ikon pemuda-pemudi kota yang romantis. Mereka sedang memadu cinta dengan sepeda onthel. Keduanya berjalan beriringan jalan di pematang sawah dan melihat panorama alam. Karakterisasi dimunculkan sebagai idealisasi cinta picisan. Sepeda mendapatkan tempat di hati para pecintanya. Hingga kini, mengendarai sepeda menjadi indikasi kesederhanaan, cinta kasih, persahabatan dan kehangatan rumah tangga.
Di belahan dunia yang lain, W Sommerset Maugham pernah menulis tentang sepeda dan dirinya dalam Cakes and Ale (1953). Saat ia berusia sangat muda, ia pernah mengendarai sepeda dan menabrak seorang perempuan yang berjalan berlawanan arah dengannya. Perempuan itu Mrs Driffield yang masih sangat muda berjalan beriringan dengan suaminya. Saat terjatuh, Maugham sengaja menolongnya dan timbullah rasa cemburu si suami. Ceritanya berakhir kala suatu hari Maugham memperistri perempuan tadi. Rupanya, ia mendapat jodoh saat gara-gara berkendara sepeda.
Sepeda onthel telah meriwayatkan kita dengan seribu nostalgia yang tak mungkin karatan. Kini, orang-orang mulai tak sudi ngonthel lagi. Takut panas matahari menyengat kulit dan terkena polusi yang kian menjadi-jadi. Bersepeda onthel sepertinya keanehan di abad ke-21 yang serba cepat dan penuh pesona.
*) Sartika Dian Nuraini, esais dan penyair
Dijumput dari: http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberitaminggu&kid=18&id=72155
Bali Post, 2 Des 2012
Kita cukup kaget dan salut saat mengetahui banyak orang di Indonesia menekuni hobi bersepeda. Bersepeda pada akhirnya adalah implementasi keinginan yang memadukan banyak hal, antara lain olahraga, wisata, petualangan, identitas. Bersepeda di antara masyarakat yang kecanduan sepeda motor dan mobil mungkin saja kisah yang membutuhkan alasasan-alasan masuk akal.
Indonesia sampai saat ini belum begitu identik dengan sepeda jika dibandingkan dengan Belanda, Jepang, Cina, atau Jerman yang warganya di berbagai kota lebih memilih sepeda onthel sebagai sarana transportasi. Pemerintah dan warga bersinergi mempromosikan penggunaan sepeda yang memiliki banyak timbal balik dalam hal mengurangi kemacetan, polusi, dan kesehatan. Bersepeda sepertinya tidak menjatuhkan gengsi. Bersepeda adalah gaya hidup. Akhirnya, kita dapat mengingat bahwa mengayuh sepeda onthel sebenarnya mengingat sejarah kota dan gaya hidup.
Sejarah sepeda onthel adalah sejarah kota. Sepeda onthel menandai pertumbuhan kota yang bergerak cepat lewat implementasi modernitas. Sebagai alat transportasi, sepeda onthel pernah mengantarkan kita ke gerbang modernitas, sebab sepeda onthel memang diciptakan untuk mengatur kehidupan manusia yang ingin efisiensi waktu, energi, dan jarak. Pada zaman dulu, sepeda onthel dibuat untuk kepentingan kapitalistik. Manusia yang enggan berjalan kaki, memilih sepeda guna mengantarkannya pergi ke mana-mana. Efisiensi itulah yang dikehendaki manusia modern dalam mobilitas diri.
Sejak pertama kali ditemukan, sepeda onthel menuai antusiasme dari orang-orang Inggris, Perancis, dan Amerika. Pembangunan jalan raya dilakukan secara besar-besaran demi memudahkan kolonialisasi dan industrialisasi yang edan-edanan. Jalan kian ramai, mesin-mesin dan teknologi bersliweran di jalan. Egon Larsen dalam A History of Invention (1978) mengisahkan penemuan sepeda onthel. Peristiwa bermula saat tahun 1813, di sebuah kota yang damai di Jerman. Seorang pemuda bernama Baron Karl Friedrich Christian Ludwig Drais von Sauerbronn meluncur di jalan raya naik kendaraan yang aneh sekali.
Kendaraan itu terbuat dari dua buah roda yang dikaitkan dengan kayu dan pelana di tengah-tengahnya. Kendaraan itu berjalan dengan dorongan kaki kiri dan kanan secara bergantian. Ia berhasil mendapatkan paten untuk “mesin berlari” atau Draisine ciptaannya karena bisa menempuh jarak kota Karlshure ke Strasbourg dalam waktu cuma empat jam. Padahal, jika berjalan kaki jarak itu ditempuh dengan waktu enam belas jam. Orang Inggris dan Prancis menyambutnya dengan riuh. Sejak saat itu, Draisine mulai memadati boulevard-boulevard Paris dan London yang sangat digemari oleh pria-pria di waktu senggang.
Di Indonesia, iklan promosi yang menandai pertama kali masuknya sepeda di Jawa tercatat pada tahun 1898. Sepeda itu bermerek Clveland Cycles yang tertera dalam surat kabar De Nieuwe Vorstenlandan. Iklan sepeda dibuat dari dan untuk kalangan kolonial, serta para bangsawan di pulau Jawa. Kaum pribumi melihatnya sebagai benda mewah, khas Eropa. Kalau mereka memiliki sepeda, tandanya naik martabat seperti orang Eropa. Mereka berpawai mengelilingi kota dan desa menggunakan sepeda-sepeda yang menentukan martabat kolonialistik. Sepeda menjadi pembeda antara ras kaum penjajah dan yang dijajah. Jalan-jalan itu menjelmakan kekuasaan dan kontestasi politik kolonial yang memakai sepeda untuk menyapa dan pamer pada pribumi.
Intelektual
Pada awal abad ke-20, sepeda onthel menjadi representasi sekaligus indikasi intelektualitas anak-anak bangsawan yang bersekolah di institusi kolonial. Arnold Mononutu, seorang lulusan Sekolah Dokter Jawa pertama, contohnya. Di masa kecil, ayahnya yang seorang ambtenar membelikannya sepeda untuk menyetarakan diri dengan teman-temannya dari kalangan Eropa di ELS (Europeesche Lager School) Gorontalo. Sepeda menjadi indikasi keterasingan tradisi dan identitas. Monomutu mengakui dirinya saat itu memiliki mentalitas kolonial. Demi menunjukkan kekayaan dan kekuasaan, kalangan intelektual dan ambtenar saat itu malu bila harus berjalan apalagi bertelanjang kaki seperti pribumi. Pendefinisian ini serasa sangat membebani, bahkan mengafirmasi ketegangan rasisme-kultural masyarakat di Hindia Belanda.
Waktu berlalu, tetapi makna sepeda onthel bisa ditengok dalam pelbagai wacana pergerakan dan perjuangan kemerdekaan kita. Sepeda onthel menjadi alat transportasi utama bagi para pejuang kemerdekaan, selain mobil maupun truk. Sepeda-sepeda itu simbolisasi spirit dan nyawa. Sepeda-sepeda mengantarkan kita pada kemerdekaan. Dengan sepeda onthel, kita sebenarnya mengayuh nasonalisme.
Pada paruh abad ke-20, sepeda onthel mulai mencitrakan romantisisme kaum muda di Indonesia. Visualisasi kisah cinta itu tampak dalam iklan sepeda Alpino di Madjalah Star (1958), yang dipasarkan di wilayah Jakarta, Sukabumi, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Sepeda Alpino mengisahkan ikon pemuda-pemudi kota yang romantis. Mereka sedang memadu cinta dengan sepeda onthel. Keduanya berjalan beriringan jalan di pematang sawah dan melihat panorama alam. Karakterisasi dimunculkan sebagai idealisasi cinta picisan. Sepeda mendapatkan tempat di hati para pecintanya. Hingga kini, mengendarai sepeda menjadi indikasi kesederhanaan, cinta kasih, persahabatan dan kehangatan rumah tangga.
Di belahan dunia yang lain, W Sommerset Maugham pernah menulis tentang sepeda dan dirinya dalam Cakes and Ale (1953). Saat ia berusia sangat muda, ia pernah mengendarai sepeda dan menabrak seorang perempuan yang berjalan berlawanan arah dengannya. Perempuan itu Mrs Driffield yang masih sangat muda berjalan beriringan dengan suaminya. Saat terjatuh, Maugham sengaja menolongnya dan timbullah rasa cemburu si suami. Ceritanya berakhir kala suatu hari Maugham memperistri perempuan tadi. Rupanya, ia mendapat jodoh saat gara-gara berkendara sepeda.
Sepeda onthel telah meriwayatkan kita dengan seribu nostalgia yang tak mungkin karatan. Kini, orang-orang mulai tak sudi ngonthel lagi. Takut panas matahari menyengat kulit dan terkena polusi yang kian menjadi-jadi. Bersepeda onthel sepertinya keanehan di abad ke-21 yang serba cepat dan penuh pesona.
*) Sartika Dian Nuraini, esais dan penyair
Dijumput dari: http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberitaminggu&kid=18&id=72155

0 Response to "Sepeda "Onthel""
Posting Komentar