Gerakan Sastra Sumatera Merdeka

Afrion
Harian Analisa, 9 Des 2012

Tulisan T. Agus Khaidir di Rebana Analisa minggu, 2 Desember 2012, menyikapi gerakan Sastra Sumatera Merdeka, disebutkannya tidak cukup hanya berteriak merdeka. Itu artinya bahwa sebenarnya respon terhadap gerakan membendung dominasi Jakarta semakin menguat. Akan tetapi tentu saja, kita membutuhkan pula cara-cara yang sehat sesuai dengan koridor yang ada.
Secara tersirat sebenarnya T. Agus Khaidir mengajak kita melakukan suatu aksi, tentu bukan dengan aksi anarkhis tentunya. Meski paparan yang disampaikannya jauh mengambang dan kurang memahami maksud dari terbentuknya gerakan Sastra Sumatera Merdeka, namun dapat dimaklumi bahwa sebenarnya T. Agus Khaidir tidak mengerti apa yang dimaksud dengan dominasi dan hegemoni Jakarta terhadap daerah.

Saya setuju jika aksi untuk melakukan gerakan Sastra Sumatera Merdeka, bukan hanya dengan karya, tetapi harus diimbangi dengan tindakan yang lebih tegas dan nyata. Misalnya dengan melawan monopoli kartel penguasa dan penguasa kartel yang menggurita menguasai pangsa pasar buku di daerah. Menekan Dinas Pendidikan Kota Medan untuk melawan sentralistik Jakarta dengan cara merubah pola pikir masyarakat dan sistim pendidikan yang cenderung mengabaikan potensi daerah.

Melalui peningkatan kualitas karya dan sikap masyarakat yang tegas terhadap sistim pendidikan di daerah. Memang semestinya para deklamator Sastra Sumatera Merdeka tidak hanya sekedar berteriak merdeka. Tetapi akan ada reaksi lain yang mengkritisi kebijakan pemerintah, pengusaha dan sistim monopoli yang terus tumbuh subur di Negara ini. Suatu gerakan yang bisa membuka mata orang-orang Jakarta, memahami kondisi sosial masyarakat di daerah.

Untuk memperjuangkan nasib karya sastra dan buku-buku sejarah sastra yang terus menerus dimonopoli penerbit Jakarta sebut T. Agus Khaidir, dengan cara menekan pemerintah, menembus birokrasi berlapis. Di saat yang sama, para penulis juga harus bisa mendikte penerbit-penerbit raksasa yang menguasai pemasaran buku di daerah. Lewat cara seperti ini buku sastra terbitan Jakarta dapat dihempang masuk ke sekolah dan perguruan tinggi.

Gubernur dan walikota sebagai pejabat yang berada dalam level pemegang kekuasaan tertinggi di daerah, harus bertanggungjawab terhadap praktik monopoli pemasaran buku-buku yang selama ini masuk menguasai dunia pendidikan di daerah, khususnya Sumatera Utara. Praktik pembunuhan terselubung terhadap penerbit buku di daerah yang selama ini berjalan mulus, harus segera dihapuskan. Setidaknya akan dapat menghidupkan kembali penerbit buku di daerah.

Hal yang menarik, adanya niat kemendikbud melakukan perubahan kurikulum. Tentu akan berpengaruh pula dengan penerbitan buku-buku pelajaran. Apakah kita para seniman, budayawan dan ahli sejarah di seluruh Sumatera (baca: Indonesia) dilibatkan dalam perubahan kurikulum ini? Padahal menurut menteri, kurikulum pendidikan nasional harus disesuaikan dengan perubahan zaman dan kemampuan siswa di daerah.

Pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina, Mohammad Abduhzen. Dengan tegas menyatakan, kurikulum itu memang harus dinamis dan yang terpenting perubahannya melibatkan semua eleman masyarakat di seluruh Indonesia. Kurikulum harus dapat menjawab tantangan zaman dan kondisi kemampuan siswa di daerah.

Gerakan Sastra Sumatera Merdeka, saya kira misi dan visinya sudah sangat jelas. Tidak ada yang perlu diragukan sebagaimana ketakutan T. Agus Khaidir dengan segala analogi dan contoh-contoh kasus yang disampaikannya. Terlebih-lebih dalam bentuk buku bahwa buku merupakan bisnis para investor dengan keuntungan sebesar-besarnya dan modal sekecil-kecilnya.

Melawan hegemoni Jakarta memang tidak perlu dengan sekedar berteriak merdeka. Seperti dahulu ketika para pejuang kemerdekaan Indonesia berjuang melawan penjajahan Belanda. Tidak perlu dengan angkat senjata lalu membombardir Jakarta.

Sungguhkah kita benar-benar akan merdeka? Ataukah ini hanya sekedar slogan dan wacana yang digaungkan lewat seminar dan diskusi-diskusi kedai kopi, sebagaimana ketakutan T. Agus Khaidir, yang saat ini sudah lebih dahulu kalah bertempur sebelum berperang?

Teriakan merdeka mestilah diartikan sebagai spirit menumbuhkan kebersamaan sebagai gerakan membendung monopoli penerbit buku Jakarta memasuki wilayah pangsa pasar daerah. Apalagi cenderung menguasai pemakaian buku pelajaran di sekolah dan perguruan tinggi. Sebagai anak Sumatera Utara dimanapun kalian berada, saya harus menekankan pentingnya menumbuhkan semangat patriotisme. Untuk bersatupadu melawan hegemoni Jakarta terhadap anak-anak bangsa di daerah ini, yang hanya mengenal sastrawan-sastrawan yang tinggal dan menetap di Jakarta saja.

Menarik bagi saya menyoal usulan yang ditawarkan T. Agus Khaidir, agar gerakan ini digeber lewat jalan-jalan yang lebih konkret, tidak kelewat ambisius. Mulai dari gerakan perlawanan khas Sumatera Utara (baca: Medan). Melawan Jakarta dengan kenakalan atau kalau perlu sekalian lewat kegilaan dalam karya. Baik karya personal maupun komunal.

Sebaliknya bagi saya, usulan ini hanya merupakan salah satu bagian dari gerakan Sastra Sumatera Merdeka. Melawan hegemoni Jakarta tidak hanya dengan karya lalu mengirimkannya ke penerbit atau koran-koran yang ada di Jakarta. Ada aksi yang lebih keras dan nyata. Seniman, budayawan dan ahli sejarah Sumatera Utara, agar bersatupadu mendukung pemerintah daerah Gubernur dan Walikota untuk menyetop pemasaran buku ke sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di Sumatera Utara terbitan Jakarta. Selanjutnya, menghidupkan kembali penerbit buku yang ada di daerahnya.

Selain itu, Medan dan Sumatera Utara harus punya even internasional. Gubernur Sumatera Utara sudah berkali-kali bertemu dengan seniman di daerah ini, begitu juga dengan walikotanya. Hasilnya seperti katak dalam tempurung, tak bisa teriak merdeka dan angkat senjata lagi. Bisanya hanya janji-janji, rame-rame minum segelas kopi dengan seniman – makan kue dan cakap sekedar basa-basi.

Dijumput dari: http://www.analisadaily.com/news/read/2012/12/09/92897/gerakan_sastra_sumatera_merdeka/#.UNDenKx2Na8

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Gerakan Sastra Sumatera Merdeka"

Posting Komentar