Sastra Lisan di benak Mochtar Lubis Sangat Kuat

Syarbaini
Harian Analisa, 18 Nov 2012

Pada saat Mochtar Lubis masih hidup, Sastra Hijau daerah belum begitu ditinggalkan. Sastrawan kondang pada zamannya sempat melakukan seminar dan penelitian di sebuah perpustakaan di negeri Belanda. Ternyata hasilnya cukup banyak mengagumi sastra Indonesia yang tersimpan di perpustakaan negara kincir angin itu. Hal ini disebabkan pada zaman penjajahan Belanda tempo doeloe kaum penjajah yang pulang ke negerinya, membawa oleh-oleh buku-buku sastra lisan asal Indonesia.
Pengakuan Mochtar Lubis, kalangan pecinta buku, peneliti dan penggemar pembaca Belanda cenderung mencintai sastra lisan Indonesia dalam jenis, cerita rakyat, dongeng, hikayat-hikayat atau sastra lisan lainnya. Dalam benak Mochtar Lubis berpendapat Bangsa Belanda waktu masih menjajah Indonesia ternyata memiliki perhatian penuh terhadap jenis sastra lisan daerah sebagai bacaan yang mengasyikkan.

Perhatian Bangsa Belanda terhadap sastra lisan Indonesia ternyata mengilhami diri Mochtar Lubis untuk mengabdikan perbendaharaan sastra-sastra lisan baik ditingkat pusat maupun daerah yang sebenarnya cukup banyak bila dihitung-hitung secara rinci.

Saat masih hidup dan berkecimpung dalam dunia sastra Mochtar Lubis berpendapat alangkah besarnya kerugian budaya Bangsa Indonesia, seandainya sastra lisan yang terdiri cerita rakyat, dongeng dan hikayat-hikayat sempat punah dari bumi nusantara ini. Warga asing saja menyimpannya dengan baik, lalu waktu-waktu luang dijadikan bacaan yang mengasyikkan.

Aneh bin ajaib, itu adalah kenyataan. Berapa jumlah buku-buku sastra lisan, baik cerita rakyat, dongeng-dongeng atau hikayat-hikayat di perpustakaan maupun lembaga pendidikan di daerah. Disana yang tinggal dapat dihitung dengan jari. Pada masa-masa lalu, sebutlah masa penjajahan tempo dulu buku-buku jenis itu menjadi bacaan populer baik di kalangan penjajah, maupun kelompok intelektual kita masa itu. Kini di abad dimensi “cinta buku” malah bacaan yang bernilai pendidikan, tidak nampak lagi di perpustakaan-perpustakaan umum maupun di sekolah.

Dalam seminar bahasa yang dilakukan beberapa tahun lalu, pihak Dikbud memang pernah melaksanakan semacam proyek pengumpulan sastra lisan baik asal pusat maupun daerah untuk dikembangkan kembali. Sayang proyek yang intinya hendak membangkitkan budaya sastra dalam bentuk pendidikan moral bangsa, hingga kini belum terealisasi. Kapan dan kapan kalangan sastrawan masa kini, hanya dapat menanti dan menanti.

Layak sebagian besar kalangan sastrawan sangat mendukung gagasan Mochtar Lubis yang justru si Empu Sastrawan pada masanya. Seminar dunia sastra ini juga tidak banyak bisa berbuat karena berbagai hal, antaranya modal dan fasilitas-fasilitas lain dalam menangani produks budaya yang sangat bermanfaat untuk mempertahankan kepribadian bangsa menurut naluri tradisi nenek moyang ini. Hal ini merupakan sesuatu yang dapat mempertahankan dedikasi anak bangsa agar tradisi leluhur dapat dipertahankan demi martabat bangsa.

Pendidikan Moral

Kembali ke pendapat Mochtar Lubis, nilai sastra lisan memang sepertinya tidak dapat diabaikan. Ditinjau lagi peranan dalam pendidikan generasi muda melalu isi yang terkandung, keinginan melestarikan sastra lisan itu merupakan hal yang patut di puji. Dengan semaraknya sastra lisan, secara langsung nenek moyang dapat dipelajari secara seksama oleh generasi penerus sebagai bahan pertimbangan dalam memegang tradisi hidup yang lebih bermakna. Seperti banyak sastra lisan yang dapat dijadikan pendidikan kehidupan remaja baik laki-laki maupun wanita, baik mereka di desa maupun kota-kota. Misalnya saja sastra lisan asal Jawa Tengah, antaranya Serat Candrarini sebagai sarana nasehat bagi gadis-gadis Jawa menjelang memasuki gerbang rumah tangga, lalu sastra lisan Wulang Reh sebagai sarana pengajaran kaum remaja untuk selalu hati-hati dan waspada.

Masih terngiang oleh penulis tatkala berkunjung ke daerah Sumatera Barat, tatkala datang menyaksikan helatan dengan pergelaran hiburan “Dendang Panah” yang merupakan sastra lisan Minangkabau dalam bentuk seni musik tradisional yang secara umum hampir tenggelan tersisih oleh desakan seni musik modern yang mendominasi dunia musik masa kini.

Dalam penuturan salah seorang tokoh tua yang mengenal seluk-beluk seni musik tradisional, menceritakan pada penulis “Dendang Panah” merupakan sastra lisan dalam bentuk bait-bait tembang yang didendangkan pada acara tertentu di malam hari. Unsur penting dalam sastra lisan, makna dalam kaba (cerita) yang menguraikan cara menasehati kalangan remaja. Baik, gadis atau pemuda agar mereka tidak meninggalkan nalurinya sebagai masyarakat, patut menjunjung tinggi adat istiadat daerahnya. Bait-bait nasehat dalam lantunan seni musik “Dendang Panah” itu sempat dikutip penulis melalui terjemahan bahasa Indonesia yang sedang pemain lantunkan dengan suaranya yang mengiba, antaranya;

Ke pasar anak rang Holong
Membeli sutera dan beludru
Bulu ayam bisa dihitung
Sifat manusia siapa tahu

Ke pasar anak Rang Bengkel
Akan pulang tengah hari
Yang besar kita muliakan
Yang kecil kita kasihi.

Sudah masak padi di tengah sawah
Dituai anak nang jati
Sesat surat salah ubah
Agar jangan terulang lagi

Burung balam terbang sejoli
Seekor menyerap ke tepian
Antara awak dan si dia
Sudah lama berutang budi

Burung balam terbang sejoli
Mengisap minum masuk lebakan
Anak sudah besar jangan hanya dipandangi
Lebih baik disekolahkan

Berdasarkan studi perpustakaan di Sumatera Barat, pengakuan mantan Direktur Akademi Karawitan Minangkabau Padang Panjang Chairul Harun menyebutkan, ragam sastra lisan memang yang sepat di inventarisasi ada 15 ragam sastra lisan. Di antaranya berupa tesis sarjana sastra fakultas Sastra Andalas Padang. Selainnya hasil pengumpulan bentuk inventarisasi Depdiknas daerah Sumbar yang peduli akan sastra lisan daerah untuk riwayatnya.

Ke lima belas jenis sastra lisan ini umumnya mengandung unsur-unsur pendidikan. Jadi memang sangat disayangkan bila sastra yang justru bisa dijadikan sarana pendidikan remaja ini punah terabaikan ditelan gelombang jenis seni luar yang justru keberadaan masih diragukan.

Masih pengakuan Chairul Harun, mendukung pendapat Mochtar Lubis Almarhum yang justru empu dari kelompok sastrawan di tanah air di masa hidupnya sangat tepat. Karena itu remaja sekarang perlu dididik melalui bacaan. Dengan membaca mereka dapat mengambil hikmah sastra yang dibacanya. Sastra lisan adalah wadahnya karena, memang oleh penulisnya, baik masa lalu dan sekarang bertujuan mengetengahkan cerita yang berkaitan dengan pendidikan dan dedikasi.

Tidak hanya jenis sastra lisan Jawa dan Minangkabau yang mampu memberi solusi dalam pendidikan remaja. Jenis-jenis cerita rakyat yang dulu menjadi bahan bacaan di sekolah-sekolah tingkat rendah, misalnya cerita Datu Gunja, di Sidikalang, Hang Tuah, di Melayu Deli,Sri Mersing, untuk daerah Langkat dan Batu Berkatuk untuk daerah Bengkulu. Semua sastra lisan daerah ini isinya memiliki unsur pendidikan bagi generasi penerus, antaranya bentuk nasehat, kebersamaan, kejujuran dan ketabahan dalam menghadapi tantangan.

Sayang buku-buku cerita rakyat dalam bentuk sastra lisan, kini hanya tinggal beberapa buah, itupun dalam keadaan tingkah lengkap, kover sudah lepas dan halamannya tidak lengkap lagi.

Bagaimana sang penerbit? Tentang dedikasi anak bangsa perlu mendapat perhatian khusus. Mungkin saja melalui bacaan-bacaan jenis sastra lisan dapat dicari jalan keluarnya untuk menghindari minat ikut-ikut dalam jebakan narkoba yang membahayakan dirinya. Dengan rajin membaca, seseorang dapat mencerna, memilah-milah mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang merugikan, mana yang menguntungkan. Disinilah bacaan sastra kita berperan. Mochtar Lubis dalam mengembangkan sastra lisan sangatlah tepat.

Tidak hanya Mochtar Lubis yang menginginkan perkembangan dan pelestarian sastra hijau daerah ini. Seluruh masyarakat sebenarnya memiliki niat yang sama. Sastra dapat dijadikan semacam keteladanan bagi pendidikan remaja di daerah masing-masing.

Tidak saja daerah Sumatera Barat yang kaya akan sastra-sastra lisan sebagai bukti kepedulian kalangan sastrawan dan pengarang Minangkabau masa lalu untuk berbuat lebih baik demi kekayaan perbendaharaan khasanah budayanya. Di daerah lain juga memiliki kekayaan perbendaraan budaya dalam bentuk sastra lisan.

Di Jawa ada Serat Centhani di Bengkulu ada Batu Terkatuk, di Tapanuli Selatan ada cerita Sampu Raga, di Tanah Deli ada cerita Hang Tuah, semua merupakan khasanah perbendaraan budaya yang patut dilestariakn. Keberadaan sastra lisan maupun cerita rakyat, merupakan sarana pendidikan pada generasi penerus bangsa.

Atas gagasan Mochtar Lubis yang telah tiada, patut kita cermati. Keberadaan sastra lisan perlu dikembangkan, justru sastrawan muda mulai bermunculan seiring dengan perkembangan perguruan tinggi jurusan sastra kian meningkat. Layak mereka diharapkan mampu menyikapi akan tantang semakin redupnya sastra-sastra lisan di negeri ini. Sastrawan muda yang mulai bermunculan, perlu bergerak membangkitkan kembali sastra-sastra lisan, karena mampu membawa moral anak bangsa ke tingkat martabat yang lebih luhur dan terhormat.

Medan, 22 Juli 2009
Dijumput dari: http://www.analisadaily.com/news/read/2012/11/18/88208/sastra_lisan_di_benak_mochtar_lubis_sangat_kuat/#.UNDP66x2Na8

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sastra Lisan di benak Mochtar Lubis Sangat Kuat"

Posting Komentar