Penjaga

Johan Edy Raharjo *
Sastra-indonesia.com

Lampu-lampu taman itu mulai menyala, satu, dua, tiga, empat, dan seterusnya menyala, menerangi seluruh kompleks dan jalur utama kota. Langit mulai menghitam, puncak gunung mulai menghilang, segerombolan kelelawar mulai terbang menyusuri lorong-lorong tak berpenghuni. aku masih terdiam di sudut taman kota, di bawah pohon trembesi, setelah kau katakan padaku “jagalah apa yang engkau rasa, sampai aku datang kepadamu suatu hari nanti,”.
Mengapa aku harus menjaganya? Apa yang kau rasa? Aku tak tau, tapi bukan harapan kosong, yang ku beri, engkau harus menjaganya jika menginginkan, akupun juga, tapi saat ini aku masih dengannya, aku tak ingin menyakitinya. Jadi apa yang kau mau? Aku ingin sebuah kepastian? Kepastian? Iya. Mengapa kau ingin seperti itu? Aku tak ingin seperti ini? Aku tak ingin masuk ke dunia mu dengan dirinya. Aku akan pergi, jika memang seperti ini. Benarkah kamu akan pergi? Iya, aku tak ingin masuk ke dunia mu dengan dirinya. Aku tak rela jika kamu ingin pergi, jagalah, tunggulah, hingga aku datang kepadamu. Namun, jika kamu akan pergi, dengan tetesan air mata aku tak bisa apa-apa, pergilah. Itulah saat kita terakhir bertemu, dan kamupun pergi meninggalkanku sendiri di bawah pohon termbesi yang kokoh berdiri menjulang. Aku tak mengerti apa yang kamu inginkan, aku termanggu, kini aku tak bisa mengapa, hanya diam yang ku bisa, hari berganti hari, setiap hari yang sama aku duduk di bawah trembesi tua itu, namun, kini aku tak bersamamu lagi, aku sendiri, memegang kata terakhirmu, aku pandang sekeliling taman, hanya semilir angin dan rintik gerimis yang datang. Merasuk tubuh melalui ujung jari- jemariku, memandikan diriku yang mengigil, walau aku sekitar sejam tadi telah mandi, kini aku dimandikan oleh angin dan rintik gerimis yang hadir bersamaan. aku tetap berdiam di bawah pohon trembesi, memegang kata darimu. Hari semakin larut, aku bergegas pulang.
***

Lima bulan sudah aku tak mengunjungi tempat itu, tempat dimana aku dan dirimu berkata menjelang pergantian siang dan malam. Aku tak memikirkan lagi kata yang kau ucapkan kepadaku. Walau aku selalu ingat. Dan selalu ku pegang. Hari-hariku ku isi dengan berbagai kesibukan, entah apa saja yang kulakukan, asal aku bisa berkarya, bisa mengabdi, pada negeri.

Kabarmu tiada datang, nomor yang kau berikan hilang sudah, tak aktif, engkau berganti nomor, hanya di akunmulah aku melihat aktifitasmu, hanya melihat foto profilmu aku ungkapkan kerinduanku, senyummu terlihat, saat aku kamu dan dirinya juga ada dalam sebuah perjalanan malam. Aku beranjak keluar, kawanku, saudaraku mengajak pergi, pergi kelapangan desa, bermain futsal, lima-lawan lima, dengan pemuda desa sebelah, aku ikuti langkah mereka, namun kau hadir dalam otakku, memenuhi otak kiri kananku, otak tengahku terasa tersumbat, hingga dalam permainan futsal aku kehilangan konsentrasi, penuh, sudah penuh, aku tak mampu berpikir, napasku tak karuan, dingin, semakin dingin, pandangan mataku semakin memudar, semakin gelap, berkunang-kunang, berat sekali, ya, berat sekali kepalaku, mataku perlahan menutup. Dingin. Gelap.
***

Panas terik matahari memanggangku di tengah padang pasir, luas, seluas mata memandang, tak ada pohon, kaktus kecil atau tumbuhan padang pasir saja tak ada apalagi pohon, tak ada air, tak ada jalan, tak ada petunjuk arah, tak ada. Tak ada payung, tak ada topi, tak ada penutup kepala, hanya rambut sepanjang 1 cm yang menutup kepalaku, keringat mengucur, baju putih yang ku kenakan basah, kering lagi oleh panasnya matahari. Hanya gelombang-gelombang pasir terlintas di hadapanku, semilir angin kering membawa terbang pasir debu. Ku berjalan perlahan, kering sudah tenggorokanku, aku tak kuat lagi berjalan. Langit berubah, langit yang biru tanpa selembar mendung berubah menghitam, lembaran awan hitam datang, menyatukan diri, hingga mentari yang menyengat tak kelihatan lagi, aneh, walau awan hitam putih memenuhi seantero langit, hujan tak turun, aku terdiam, tak bisa melangkahkan kaki kecilku, seakan pasir tempat ku berdiri menahan sampai aku tak mampu mengangkat kakiku. Angin semakin kencang, mengaburkan butiran-butiran debu, angin semakin kencang, mengangkat gelombang pasir, dari sebelah barat, timur, utara dan selatan, semua mengarah ke padaku. Aku tak bisa bergerak, napasku sesak, semakin dekat, semakin dekat, dan gelombang pasir itu semakin dekat, keras, berputar, menjadi batu, menghimpitku. Aku terjepit, tak mampu bernapas, gelap, gelap, aku tak bisa melihat,. Sekejap, silau cahaya putih menghampiriku, silau, aku tak bisa bicara, hanya bergerak, kulangkahkan kakiku,, semakin jauh, silau, semua silau.dingin, selembar kain dingin menempel di kepalaku, dingin, menetes di kedua mataku, ku buka mata perlahan, aku di sebuah ruangan sempit, di kelilingi tirai, aku berada dalam kamar perawatan, seutas selang dan jarum terhubung antara kantong berisi cairan dengan pembuluh tangan kiriku. Kupandangi sekelilingku. Teman-teman menungguiku. Kepalaku masih pusing, aku diminta untuk lebih banyak istirahat.
***

Setelah keluar dari perawatan, aku sudah kuat untuk beraktifitas lagi, seminggu sudah aku lalui dengan kegiatan rutin, ngabdi marang negeri lan gusti, aku teringat peristiwa terakhir, aku pingsan setelah engkau, kerinduanku, perasaanku, kata-katamu memenuhi seluruh kepalaku, dimanakah dirimu? Malam menjelang, ku rebahkan tubuh ini. Kubuka sebuah novel tetralogi perjalanan anak pekerja tambang. Novel ketiga, berkisah petualangan yang panjang dan menegangkan. Hp ku berbunyi, tak ada nama, ternyata nomor baru yang belum tersimpan dalam hp ku, sebuah pesan, kubuka penuh tanya, dari siapa gerangan pesan ini, ku tekan tombol ok.

“assalamu’alaikum.
Mas, bagaimana kabarnya?
Masih ingatkah kau padaku?”
Segera kubalas pesan itu, aku semakin penasaran.
“waalaikumsalam.
Maaf ini dengan siapa?
Semoga aku masih bisa mengenal dan mengingatmu”
“masih ingatkah kata kita dibawah pohon trembesi?
“ya, aku ingat, benarkah itu dirimu?
Benar, apakah engkau masih memegang kata itu?”
“iya, aku masih memegang kata itu”
“terimakasih, semoga engkau baik-baik saja, tunggu kehadiranku, sampai jumpa”
itulah percakapanku dengannya setelah lima bulan tak ada kabar. Kerinduanku padanya masih memenuhi dadaku, Ku buka jendela dindingnya di dunia maya, kulihat, ku baca profilnya, ia telah berada sekota denganku, ia bekerja di kantor yang berhadapan dengan tempat kerjaku. Sakit yang selama ini masih sering kambuh, entah sakit apa itu, analisi dokter berbeda dengan kenyataan yang ada dalam diriku lenyap dalam sekejap. Aku merasa hidup lagi, sakit yang tak ketemu obatnya, hilang begitu saja, entah apa namanya obat itu.
***

Seperti biasa, setiap pagi aku pergi bekerja, jam masukku satu jam lebih siang daripada jam masuk kantor di depanku, aku duduk di depan, semua karyawan kantor ia bekerja bergegas masuk, perlahan dari arah barat ia datang dengan mengendarai motor sendiri, ku pandangi ia, ia memandangku, tersenyum dari jauh dan masuk ke kantor lenyap di balik pintu pagar yang tinggi.

Ku terima e-mail darinya, segera kubaca, “terimakasih engkau telah menjaganya, mawar yang tumbuh diantara kita, yang kelak akan memunculkan kuncup dan mekar pada waktunya, kita akan memetik bersama” segera kubalas, “ ya, memang aku masih menjaga, dan akan ku jaga mawar itu, namun engkau telah bersamanya, dan aku tak ingin masuk ke dalam duniamu dengan dirinya, apakah kamu juga akan menjaganya?” “iya, aku akan tetap menjaganya, sudahlah, aku berharap engkau tetap menjaganya,” “baiklah” kujawab dan kututup jendelaku.

Jam kerja usai, aku bergegas keluar, bersama beberapa kawan perempuanku, yang juga kawan akrab dengannya, kebetulan, aku bertemu dengannya di depan, tapi anehnya, iya tak menyapaku, walau aku dan dirinya berhadapan, ia tak memandangku, tapi mengobrol dengan beberapa kawan perempuan di sampingku, dan pergi. Begitulah berulang setiap bertemu, aku tak ada dalam nyata dirinya, walau dalam pesan dan e-mail iya berkata, menjaga, berharap, dan menginginkan aku tak dekat dengan mawar lain. Aku tau tau harus bagaimana, pekerjaan menumpuk, tugas belum beres, aku terforsir, aku jatuh sakit lagi, aku tak mampu menahan sakit yang tak ku ketahui jenisnya, aku masuk ruang gawat darurat, napasku berhenti, badanku dingin, tak ada rasa, tak bisa bergerak, gelap.
***

Aku berada dalam ruang penuh cahaya, dikelilingi kawan setiaku, mengelilingiku, aku tak bisa bicara, saat engkau datang, engkau perlahan pergi, ya, pergi bersama seseorang, yang ku kenal, yang sering ku temui, dan sahabatku, aku tak bisa bergerak, tak bisa bicara, engkau lenyap dalam gelap. Aku berlari menuju cahaya putih, silau, muncul seseorang berbadan putih bersih, berpakaian serba putih, mendekatiku, engkau mau kemana? Ingin memetik mawar yang telah mekar itu yang selama ini kau jaga? Aku sontak kaget, mengapa engkau tau,? Apakah kamu ingin tetap memetiknya? Iya, apakah tidak boleh? Selama ini aku telah merawatnya, telah menjaganya? Iya benar engkau telah menjaga dan merawatnya, apakah kamu bersikeras ingin memetiknya? Apa yang kamu inginkan? Keindahan mawar itu atau kematian mawar itu? Aku tak mengerti maksudku wahai kakek. Begini nak, jika engkau ingin sebuah keindahan, biarkan mawar itu tetap disana, tetap berada dalam tangkai yang menopangnya, kamu akan bisa menikmati keindahannya setiap hari hingga satu persatu kelopak itu jatuh dan bunga itu habis sesuai masanya. Namun jika kamu bersikeras memetiknya sekarang, besok kamu tak akan melihat keindahannya karena hari ini juga ia akan layu. Aku terdiam, merenungi nasihat kakek itu, aku menunduk. Tapi kek, ku angkat kepalaku, sudah lah, mari kuantar engkau pulang, semua menunggumu, ayolah, tunggu apalagi, kupandangi wajah kakek itu, dan ku pandangi tubuhku yang masih tergolek di Unit Gawat Darurat, ku pandangi kakek itu, perlahan pergi ke arah cahaya putih dan silaunya membuat aku tak bisa melihat.
***

Ku buka mataku, aku berada dalam kamar penuh alat medis, aku dipindahkan ke kamar perawatan kelas IIIC, dalam satu ruang terdapat dua puluh pasien, yang beraneka ragam sakit yang di derita, namun, aneh, tak ada yang tau apa sakitku, aku tergolek lemah, di tunggui beberapa kawanku, bagaimana kondisimu kawan, tanya salah satu dari mereka, alhamdulillah baik, aku akan segera membaik, lebih baik daripada sebelumnya, tak lama kemudian, hp ku berbunyi, segera ku buka pesan yang kuterima, ternyata darinya, segera ku tekan tombol baca,
“mas, segera sembuh ya, agar aku mudah melepasmu”
Aku diam seribu bahasa, seperti seribu belati menusuk ulu hati, yang mulai bernapas perlahan.. perlahan.. semakin jarang, semakin jarang,, dan napas nadi itupun tak lagi berdenyut, sudah, gelap.. perlahan..tak ada rasa tak ada rupa.

Pacitan, 15/04/2012
*) Johan Edy Raharjo, lahir di Pacitan, 09 Nopember 1989. Mahasiswa STKIP PGRI PONOROGO, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Alamat, Rt 03/04 Krajan Desa Kemuning Kec, Tegalombo Kab, Pacitan.
Dijumput dari:  http://sastra-indonesia.com/2012/11/penjaga/

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Penjaga"

Posting Komentar