Mengenang Rendra (2)

Rendra Hormati Kritikus Dami N. Toda
Yohanes Sehandi *
Flores Pos (Ende), 6 Agu 2010

Bagi kita masyarakat NTT/Flores, penyair Rendra yang dijuluki “Si Burung Merak” ini menyisakan kenangan tersendiri. Dua tahun sebelum “pergi,” penyair dan dramawan ini mengunjungi NTT selama lima hari (15-19 Oktober 2007). Beliau datang secara khusus ke NTT/Flores dalam rangkaian pengantaran “abu jenazah” almarhum Dami N. Toda. Dami N. Toda adalah kritikus sastra Indonesia modern, alumnus Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI), cukup banyak melakukan kajian/telaah/analisis/kritik sastra Indonesia modern.
Sejak tahun 1981 Dami N. Toda menjadi dosen bahasa dan sastra Indonesia pada Lembaga Studi-Studi Indonesia dan Pasifik, Universitas Hamburg (Jerman). Kritikus sastra yang menulis buku Novel Baru Iwan Simatupang (1980), Hamba-Hamba Kebudayaan (1984), Apakah Sastra ? (2005), dan Buru Abadi (2005), ini meninggal dunia pada 10 November 2006 di Hamburg (Jerman).

Sastrawan Rendra datang ke NTT/Flores bersama istri dan dua orang anak Dami, mantan Gubernur NTT Ben Mboi, anggota DPR RI Benny K. Harman, serta sejumlah anggota keluarga. Dari Jakarta ke Kupang, lalu ke Ruteng, terus ke Todo-Pongkor, Manggarai. Di Todo-Pongkor, tempat kelahiran Dami Toda (lahir 29 September 1942) abu jenazah kritikus sastra ini disemayamkan. Di Todo-Pongkor pun Rendra didaulat menjadi “Keraeng” (warga terhormat) dalam suku Todo-Pongkor, Manggarai.

Penyair Rendra mengikuti seluruh rangkaian prosesi abu jenazah teman dekatnya ini. Di Kupang dan Ruteng penyair yang menulis pusisi “Maria Zaitun” ini membacakan sajak “Jalan Alam, Jalan Budaya, dan Jalan Manusia” yang secara khusus dipersembahkan untuk “menghormati” kritikus sastra Dami N. Toda. Di Ruteng, penyair dan dramawan yang pada tahun 1960-an mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta dan tahun 1985 pindah ke Depok, Jawa Barat, dengan nama Bengkel Teater Rendra, ini juga memberi kesaksian dalam Forum Lonto Leok di Ruteng tentang kehebatan/keunggulan Dami N. Toda dalam dunia pergulatan dan panggung sastra Indonesia modern (Pos Kupang, 12, 16, 19, 21 /10/2007; dan Flores Pos, 16, 19/10/2007).

Rendra mengungkapkan bahwa Dami N. Toda adalah tokoh sastra terkemuka di Indonesia dan dunia. Hasil karyanya lahir dari permenungan yang mendalam tentang sejarah pergolakan intelektual dan sentuhan rasa yang telah mengendap dalam lubuk hatinya. Karya sastranya telah memberikan pencerahan tentang peradaban manusia. Unsur-unsur humaniora sangat dikedepankan dalam seluruh karya sastranya sebagai wujud kepedulian sosial dan tanggung jawab kepada kemanusiaan. “Dami Toda menulis secara jujur dan karenanya ia pantas mendapat penghormatan dari seluruh masyarakat Indonesia” tandas Rendra di hadapan peserta Forum Lonto Leok, yang juga dihadiri oleh mantara Gubernur NTT Ben Mboi dan Bupati Manggarai Christian Rotok (Pos Kupang, 17/10/2007; dan Flores, 17/10/2007).

Kesediaan dan ketulusan Rendra datang ikut mengantarkan abu jenazah Dami Toda ke NTT/Flores ini, bisa saja menimbulkan pertanyaan di antara kita: ada apa hubungan antara Rendra dengan Dami Toda, dan seperti apa hubungan itu? Meskipun secara umum dipahami bahwa kehadiran penyair besar Indonesia ini sebagai bagian dari bentuk solidaritas dan rasa hormat terakhir kepada sesama sastrawan yang mempunyai visi dan pandangan yang sama dalam berkarya. Namun, kalau ditelusuri lebih jauh ke belakang, ada sejarah panjang hubungan antara Rendra dan Dami N. Toda.

Rendra dan Dami N. Toda sudah saling mengenal dan berteman lama sejak di Yogyakarta. Setelah selesai Sarjana Muda (gelar BA) di Universitas Gajah Mada (UGM), Rendra mendirikan Bengker Teater di Yogyakarta tahun 1960-an. Dalam kurun waktu yang sama, Dami N. Toda kuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM (dapat gelar BA) dan Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Yogyakarta (tidak tamat). Sebagai orang seni, Dami Toda yang juga punya bakat di bidang teater/drama, terlibat dalam Bengkel Teater milik Rendra. Dami N. Toda ikut dalam pelatihan dan pementasan lakon “Maria Zaitun” yang dipentaskan Bengkel Teater. Lakon ini diangkat dari pusi Rendra yang berjudul “Maria Zaitun.”

Dalam Forum Lonto Leok di Ruteng pada 18 Oktober 2007, Rendra mengakui pertemanannya dengan Dami N. Toda serta keterlibatan Dami dalam pementasan “Maria Zaitun.” Rendra menyatakan bahwa pertemanan dengan Dami terjadi sejak mahasiswa di Yogya. “Pertemanan kami begitu intens dalam dunia sastra dan budaya” cerita kenangan Rendra di hadapan peserta Forum Lonto Leok di Ruteng (Pos Kupang, 26/10/2007). Sebagai “sesama orang sastra” tentu saling mengenal adalah sesuatu yang wajar, apalagi tinggal dalam satu kota. Rendra terus menghasilkan karya-karya sastra kreatif (puisi) dan bermain drama lewat Bengker Teater, Dami N. Toda terus melakukan telaah/analisis/kritik sastra terhadap berbagai jenis karya sastra, termasuk karya-karya sastra milik Rendra.

Rasa hormat Rendra kepada Dami N. Toda semakin bertambah tatkala di Ruteng ia membaca buku karya ilmiah Dami berjudul, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi (1999). Buku sejarah budaya Manggarai ini menggambarkan pemikiran kritis Dami Toda sebagai bentuk “pencerahan/ pelurusan” sejarah Manggarai yang telanjur dimanipulasi oleh kaum penjajah (Belanda) di masa lalu.

Buku ini merupakan salah satu buku terbaik hasil penelitian sejarah kebudayaan daerah di Indonesia yang “mengandalkan” tradisi lisan atau bahasa tutur masyarakat lokal sebagai sumber utama penelitian dan menghasilkan karya ilmiah yang sangat berbobot. Prof. Dr. Taufik Abdullah, Ahli Peneliti Utama, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang memberi “Prakata” pada buku yang diterbitkan oleh Penerbit Nusa Indah, Ende, ini memuji karya ilmiah yang berbobot ini. Menurut Taufik Abdullah, karya Dami N. Toda ini tidak hanya mengingatkan kita pada “sejarah” dari (salah satu) pulau-pulau yang terabaikan, tetapi juga yang tak kurang pentingnya adalah ia ingin menunjukkan betapa pentingnya memperhatikan “pulau-pulau sejarah” yang terabaikan. “Karyanya bukan saja mengisi kekosongan relatf dari pengetahuan kita tentang sejarah Flores, khususnya Manggarai, tetapi juga menunjukkan berbagai permasalahan historiografis yang harus diperhatikan” tandas Taufik Abdullah dalam “Prakata” buku tebal ini (halaman 8).

*) Pengamat Bahasa dan Sastra Indonesia
Dijumput dari: http://yohanessehandi.blogspot.com/2011/05/mengenang-rendra-2.html

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Mengenang Rendra (2)"

Posting Komentar